Selasa, 10 Januari 2012

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BAB III: SUMBER DAYA BAGIAN KESATU: LAHAN PASAL 4

PENDAHULUAN 
 Undang-undang (atau disingkat UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. 
Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara. Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh DPR atau Presiden. 
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan LPND sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. RUU ini kemudian diajukan dengan surat Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima. RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden kemudian menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR diterima. DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR mengenai hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi, melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna. DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.Apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut tidak boleh diajukanlagi dalam persidangan masa itu. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden. Jika dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Setelah memperoleh persetujuan dari sidang paripurna DPR-RI, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pembahasan Rencana Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan merupakan salah satu Rencana Undang-Undang yang panjang melebihi 10 tahun dan cukup melelahkan. Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan tersebut yang terdiri 15 Bab dan 99 Pasal berisi tentang ketentuan umum, asas dan tujuan, sumber daya yang terdiri dari lahan air, sumber daya genetik peternakan yang terdiri benih, bibit dan bakalan, pakan, alat mesin, dan lain-lain. Di samping itu mengenai kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan, otoritas veteriner, pemberdayaan peternak dan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan, sanksi administrasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. 
Sebagai pertimbangan dikeluarkannya undang-undang tersebut, bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa mempunyai peranan penting dalam penyediaan pangan asal hewan dan asal hewan lainnya serta berjasa bagi manusia yang pemanfaatannya perlu diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan perkembangan keadaan otonomi daerah dan globalisasi, peraturan perundang-undangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang berlaku saat ini sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan. Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan dan bidang lain yang terkait. Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kemanfaatan dan keberlanjutannya keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan, secara keprofesionalan.
 Berdasarkan Bab III Pasal 4, 5 dan 6 dinyatakan, untuk menjamin kepastian terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis. Penyediaan lahan tersebut dimasukkan ke dalam tata ruang wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah yang mengakibatkan perubahan peruntukan, lahan pengganti harus disediakan terlebih dahulu di tempat lain yang sesuai dengan persyaratan dan agrosistem. 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BAB III: 
Sumber Daya Bagian Kesatu: Lahan Pasal 4: 
Untuk menjamin kepastian terselenggaranya peternakan dan kesehatan hewan diperlukan penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis peternakan dan kesehatan hewan. 
Berhubungan dengan peraturan menteri yang ada dibawah ini: 
 PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP 
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup Dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Dan Pemantauan Lingkungan Hidup; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 2. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAN UPAYA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP DAN SURAT PERNYATAAN KESANGGUPAN PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut SPPL, adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dampak lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatannya di luar usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL. Pemrakarsa adalah penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah kepala instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. Kepala instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup provinsi. Deputi Menteri adalah Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang amdal. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal wajib memiliki UKL-UPL. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL wajib membuat SPPL Pasal 3 Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL atau SPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota berdasarkan hasil penapisan. Penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan pedoman penapisan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 UKL-UPL disusun oleh pemrakarsa sesuai dengan format penyusunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II. SPPL disusun oleh pemrakarsa sesuai dengan format penyusunan sebagaimana tercatum dalam Lampiran III. Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 Pemrakarsa mengajukan UKL-UPL atau SPPL kepada: kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, apabila usaha dan/atau kegiatan berlokasi pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; kepala instansi lingkungan hidup provinsi, apabila usaha dan/atau kegiatan berlokasi: lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota; di lintas kabupaten/kota; dan/atau di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota; atau Deputi Menteri, apabila usaha dan/atau kegiatan berlokasi: lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi; di wilayah sengketa dengan negara lain; di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas; dan/atau di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain. Pasal 6 Pemrakarsa mengajukan UKL-UPL atau SPPL kepada kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri memberikan tanda bukti penerimaan UKL-UPL atau SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemrakarsa yang telah memenuhi format penyusunan UKL-UPL atau SPPL. Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri setelah menerima UKL-UPL atau SPPL yang memenuhi format sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan pemeriksaan UKL-UPL atau pemeriksaan SPPL yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh unit kerja yang menangani pemeriksaan UKL-UPL atau pemeriksaan SPPL. Pasal 7 Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri wajib: melakukan pemeriksaan UKL-UPL berkoordinasi dengan instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan dan menerbitkan rekomendasi UKL-UPL paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya UKL-UPL; atau melakukan pemeriksaan SPPL dan memberikan persetujuan SPPL paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya SPPL. Dalam hal terdapat kekurangan data dan/atau informasi dalam UKL-UPL atau SPPL serta memerlukan tambahan dan/atau perbaikan, pemrakarsa wajib menyempurnakan dan/atau melengkapinya sesuai hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri wajib: menerbitkan rekomendasi UKL-UPL paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya UKL-UPL yang telah disempurnakan oleh pemrakarsa; atau memberikan persetujuan SPPL paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya SPPL yang telah disempurnakan oleh pemrakarsa. Dalam hal kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri tidak melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak menerbitkan rekomendasi UKL-UPL atau persetujuan SPPL dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), UKL-UPL atau SPPL yang diajukan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dianggap telah diperiksa dan disahkan oleh kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota, kepala instansi lingkungan hidup provinsi, atau Deputi Menteri. Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diterbitkan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 8 Rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a digunakan sebagai dasar untuk: memperoleh izin lingkungan; dan melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Pejabat pemberi izin wajib mencantumkan persyaratan dan kewajiban dalam rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam izin lingkungan. Pasal 9 Biaya penyusunan dan pemeriksaan UKL-UPL atau SPPL dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. Biaya administrasi dan persuratan, pengadaaan peralatan kantor untuk menunjang proses pelaksanaan pemeriksaan UKL-UPL atau SPPL, penerbitan rekomendasi UKL-UPL atau persetujuan SPPL, pelaksanaan pembinaan dan pengawasan, dibebankan kepada: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk pemeriksaan UKL-UPL atau persetujuan SPPL yang dilakukan di Kementerian Lingkungan Hidup; atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk pemeriksaan UKL-UPL atau persetujuan SPPL yang dilakukan di instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi lingkungan hidup kabupaten/kota. Pasal 10 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. PEMBAHASAN Yang dimaksud dengan "lahan yang memenuhi persyaratan teknis" adalah hamparan tanah yang sesuai dengan keperluan budi daya ternak, antara lain, tersedianya sumber air, topografi , agroklimat , dan bebas dari bakteri patogen yang membahayakan ternak. Sektor peternakan harus digalakkan, mengingat potensi pembiakan ternak dan kondisi suatu daerah ada yang sangat mendukung pengembangan ternak untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Tujuan penerbitan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan itu secara khusus itu agar dapat memberdayakan dan menciptakan masyarakat menjadi mandiri, untuk menjamin kepastian terselenggaranya usaha peternakan dan kesehatan hewan yang baik, diperlukan penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknis untuk budidaya ternak dan kesehatan hewan tersebut. Diharapkan dengan cara itu, potensi pembiakan ternak yang besar dan kondisi daerah yang mendukung peternakan, bisa benar-benar dikembangkan secara optimal. Untuk menjamin bahwa UKL-UPL dilakukan secara tepat, maka perlu dilakukan penapisan untuk menetapkan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL- UPL. Adapun usaha dan/atau kegiatan di luar daftar jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL dapat langsung diperintahkan melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai prosedur operasional standar (POS) yang tersedia bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, dan melengkapi diri dengan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (SPPL). Disamping itu, mekanisme perizinan telah berkembang ke arah lebih sempurna, sehingga dengan kondisi tersebut beban kajian lingkungan dapat didorong untuk dapat menjadi bagian langsung dari mekanisme penerbitan izin. Sebagai contoh, dalam setiap pemberian izin mendirikan bangunan (IMB) telah termaktub kewajiban pemrakarsa untuk melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup antara lain: wajib membuat sumur resapan, berjarak tertentu dari batas daerah milik jalan (DAMIJA), dan lain-lain. UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan penerbitan izin lingkungan, sehingga bagi usaha dan/atau kegiatan yang UKL-UPLnya ditolak maka pejabat pemberi izin wajib menolak penerbitan izin bagi usaha dan/atau kegiatan bersangkutan. UKL-UPL dinyatakan berlaku sepanjang usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan perubahan lokasi, desain, proses, bahan baku dan/atau bahan penolong. Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKL- UPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan. Pengawasan atau pemantauan lingkungan sudah harus dinilai dan dilaksanakan, oleh pemilik petemakan. Pihak lain yang berkepentingan, dalam hal ini masyarakat yang tinggal di sekitar usaha peternakan tersebut juga diminta untuk memantau dan melaporkan jika terjadi kasus pencemaran. lingkungan oleh usaha petemakan tersebut. 
Kegiatan pengelolaan lingkungan ymg dilakukan perlu dipantau untuk melihat apakah cukup efektif atau tidak atau ada hal hal yang mungkin timbul baik yang disebabkan oleh kegiatan itu sendiri yang sebelumnya tidak terduga maupun oleh sebab lain di luar usaha petemakan tersebut. Untuk itu maka pemantauan lingkungan menjadi sangat penting, karena, hasilnya merupakan umpan balik untuk perbaikan kegiatan pengelolaan lingkungan, bila temyata hasil pemantaunan menunjukan penurunan kualitas lingkungan. Pemantauan dapat berguna pula sebagai alat untuk menilai kondisi lingkungan dari waktu ke waktu. Pada prinsipnya dalam perencanaan pemantauan lingkungan usaha petemakan perlu diperhatikan beberapa hal berikut: 1. Potensi penurunan kualitas udara karena. bau kotoran ternak, pemantauan dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat sekitar, untuk mengetahui bagaimana. persepsi mereka tentang bau kotoran ternak yang keluar dari usaha petemakan tersebut. 2. Masyarakat yang dimintakan persepsinya terhadap bau kotoran ternak harus sama dari waktu ke waktu. Misalnya masyarakat yang tinggal dalam radius sekitar 1 km dari letak usaha petemakan tersebut. 3. Periode pemantauan harus jelas, dan ditetapkan atau dapat dilaksanakan sewaktu waktu jika terjadi kasus atau laporan masyarakat. 4. Metode pemantauan harus jelas. Misalnya untuk mendapatkan persepsi masyarakat tentang bau kotoran, dilakukan dengan menyebarkan. kuisioner yang dilakukan oleh pemilik petemakan. Analisa permasalahan secara faktor intermal adalah dengan melihat kepada instrumental kepada undang-undang lingkungan hidup sebagai payung hukum dan pendekatan alam sebagai landasan dasar, Didasari kepada asas, tujuan dan sasaran, dimana pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. 
Dimana berdasarkan pendekatan instrumental bertujuan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, dimana pada setiap kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, karena mungkin saja pada setiap kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup tersebut. Atas masalah tersebut diatas perlunya suatu persyaratan pada setiap usaha atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan untuk memperoleh izin melakukan usaha dan kegiatan dengan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup. Adanya pendekatan alam yang jika kita melihat secara faktor internal maka harus melihat kepada sistim hukum dan susunan masyarakat hukum adat yang hidup didalam lingkungan hidup, jangan sampai mengganggu kehidupan masayarakat hukum adat tersebut yang berada didalamnya. (UU No. 5 Tahun 1967/ LN.8/1967, TLN. 2832, Cq UU No. 23 Tahun 1997 ). 
Begitupula terhadap Analisa permasalahan secara faktor eskternal adalah dengan melihat kepada instrumental kepada undang-undang lingkungan hidup sebagai payung hukum dan pendekatan alam sebagai landasan dasar, yang secara faktor eksternal dipengaruhi ketentuan undang-undang yang berlaku secara internasional tentang lingkungan hidup itu sendiri. 
Yang secara otomatis perlu keseragaman undang-undang atau resolusi antara Negara Internasional yang melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup, akibat pengaruh globalisasi industri dunia. Jelasnya bahwa pengertian lingkungan hidup itu sendiri adalah merupakan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahkluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain, dengan disertai pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.
 Dengan berkaitan terhadap ruang lingkup lingkungan hidup yang terdiri dari Pendekatan Intrumental dan Pendekatan Alam Kajian Hukum Lingkungan Hidup (AMDAL) yaitu : indentifikasi dampak potensial, evaluasi dampak potensial, pemusatan dampak penting (focusing), dimana terdapatnya pula dampak pencemaran terhadap lingkungan hidup, akibat pencemaran terhadap lingkungan hidup, hukum sebagai sosial kontrol terhadap pencemaran lingkunga hidup, sanksi hukum terhadap pelanggaran lingkungan hidup dan sanksi hukum terhadap pelanggaran lingkungan hidup. 
KESIMPULAN 
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 
1. Lahan yang memenuhi persyaratan teknis adalah hamparan tanah yang sesuai dengan keperluan budi daya ternak, antara lain, tersedianya sumber air, topografi, agroklimat, dan bebas dari bakteri patogen yang membahayakan ternak. 
2. UKL-UPL merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaan penerbitan izin lingkungan. 
3. Bagi UKL-UPL yang telah dinyatakan sesuai dengan isian formulir atau layak, maka UKL- UPL tersebut dinyatakan kadaluarsa apabila usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi atas UKL-UPL diterbitkan. 
4. Ruang lingkup lingkungan hidup terdiri dari Pendekatan Intrumental dan Pendekatan Alam Kajian Hukum Lingkungan Hidup (AMDAL). DAFTAR PUSTAKA 
Asaad, Ilyas. 2010. 
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010.
 http://www.scribd.com/doc/38638173/Permen-Lh-No-13-Tahun-2010-Ukl-upl-Dan-Sppl. Diakses pada Tanggal 05 Januari 2012. Mattalatta, Andi. 2009. 
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009.
 http://www.legalitas.org/database/puu/2009/uu18-2009.pdf. Diakses pada Tanggal 05 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar