Selasa, 10 Januari 2012

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PASCA PANEN

Lingkup Pertanian Hasil Pertanian
 Bahan mentah/segar (daging, ikan, sayur-sayuran, susu, buahdan telur) sangat mudah rusak/busuk 
Teknologi primitif
Penanganan hasil pertanian setelah panen menjadi hasil yang lebih baik menguntungkan Sejak dulu petani dan peternak mengenal cara menangani hasil pertanian dan peternakan, agar tahan lama (padi tumbuk, ikan kering) 
•Pengkhamiran (fermentasi): tempe dari kedelai (zat-zat anti bakteri, antioksidan); tapai dari ketan dan singkong (peragian karbohidrat) 
• Pembuatan dendeng, daging sayatan tipis dan dijemur 
• Pembuatan acar, dengan penambahan gula, garam, rempah untuk mengubah warna-rasa-awet Penyebab Kerusakan Bahan Pertanian 
• Mikroba : bakteri, kapang, kamir 
• Serangga dan Pengerat (tikus) 
• Kadar Air 
Faktor fisik : Oksigen, Sinar, Waktu dan Suhu Penyimpanan Pengawetan dengan Suhu Rendah • Laju kerusakan menurun 
• Pendinginan dan Pembekuan 
Pendinginan : memperpanjang kesegaran • Pembekuan : - 180C; lebih dari 1 tahun Teknologi penyejukan modern. Pendinginan dan pembekuan, pengawetan bahan makanan tahan lama 
• Panen aspersis, langsung dimasukkan ke dalam cairan 100C 
• Udang tidur dalam serbuk gergaji suhu 120C, tahan hidup 2x24 jam Pengawetan dengan Suhu Tinggi 
• Perubahan karena pemanasan 
• Kematian mikroba 
• Perubahan Jaringan • Pindah Panas; konduksi dan konveksi 
• Perubahan cita rasa/organoleptik • Kerusakan zat giziPengeringan • Menurunkan kadar air supaya awet 
• Produk lebih awet, mudah didistribusi 
• Alami dan buatan Pengawetan dengan Bahan Kimia 
• Pengasaman – Asam alami, hasil fermentasi, sintetik – Menambah rasa, memperbaiki sifat koloidal, tekstur, menaikkan efektivitas benzoat ( Menyebabkan denaturasi/rusaknya protein)
• Penambahan Gula dan Garam ( Dendeng, Ikan Asin ) 
• Bahan Pengawet ( Benzoat, Sorbat, SO2 (lihat BTP) 
• Anti Oksidan 
• Mencegah ketengikan (BHA, BHT, TBHQ) Teknologi zat aditif 
• Penambahan zat aditif ke dalam bahan pangan, bertujuan: 
a. Zat pengawet antimikroba 
b. Antioksidan 
c. Pengemulsi, pengstabilkan, pengental 
d. Peningkat citarasa 
e. Penyalut permukaan 
f. Penambahan kadar mineralZat pengawet antimikroba 
• menghambat pertumbuhan jasad renik • memperkuat bahan makanan saat pengolahan 
• alami (gula, garam, cuka, alkohol, asam bensoat buah buni), dan sintetik (sulfur dioksida, garam sulfit, belerang) Antioksidan 
• Alami (asam askorbat/vit C jeruk) 
• Sintetik (BHA: butil hidroksi anisol; garam nitrat dan nitrit, natrium nitrit) Antioksidan Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar dan Rossell, 1990). 
Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan penggunaanya untuk makanan dan penggunaannya telah sering digunakan, yaitu butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidoksi quinon (TBHQ) dan tokoferol. 
Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial. Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari 
(a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, 
(b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, 
(c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt, 1992). 
Pengemulsi, pengstabilkan, pengental 
• Pengemulsi, penstabil: mentega, margarin, susu 
• Pengental (pektin: yogurt; protein kedelai) Peningkat citarasa • Monosodium glutamat (MSG/vetsin) 
•Berbagai zat kimia buatan untuk rasa buah asliPenyalut permukaan • pengentalan juga melapisi permukaan bahan makanan mengubah sifat permukaan Penambah kadar mineral, vitamin • penambahan vit A dan D pada susu • yodium ditambahkan pada garam
Cara pengawetan : 
Fisik – Kimia – Biologis 
Kelemahan bahan aditif anorganik dapat bersifat karsinogen nitrosamine Saat ini sedang diusahakan mencari bahan pengawet pengganti anorganik atau mencoba menurunkan atau memperketat dosis penggunaannya dengan menambah zat lain yg lebih aman CHITOSAN Chitosan merupakan produk turunan dari polimer chitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan. Limbah kepala udang mencapai 35-50 persen dari total berat udang. 
Kadar chitin dalam berat udang, berkisar antara 60-70 persen dan bila diproses menjadi chitosan menghasilkan 15-20 persen. 
Chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa, dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2. Proses utama dalam pembuatan chitosan, meliputi penghilangan protein dan kendungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut deproteinasi dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, chitosan diperoleh melalui proses destilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa.
 KARAKTERISTIK CHITOSAN 
Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat. Chitosan sedikit mudah larut dalam air dan mempunyai muatan positif yang kuat, yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain, serta mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun. 
Uji aplikasi chitosan pada beberapa produk ikan asin seperti, jambal roti, teri dan cumi. Dalam uji-riset yang dilakukan, chitosan pada berbagai konsentrasi dilarutkan dalam asam asetat, kemudian ikan asin yang akan diawetkan dicelupkan beberapa saat dan ditiriskan. Indikator parameter daya awet hasil pengujian 
1. keefktifan dalam mengurangi jumlah lalat yang hinggap, dimana pada konsentrasi chitosan 1,5 persen, dapat mengurangi jumlah lalat secara signifikan. 
2. keunggulan dalam uji mutu hedonik penampakan dan rasa, dimana hasil riset menunjukkan penampakan ikan asin dengan coating chitosan lebih baik bila dibandingkan dengan ikan asin kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan ikan asin dengan formalin. "Coating chitosan pada ikan cucut asin memberikan rasa yang lebih baik dibanding dengan kontrol (tanpa formalin dan chitosan) dan pelakuan formalin pada penyimpanan minggu ke delapan 
3. keefektifan dalam menghambat pertumbuhan bakteri, dimana nilai TPC (bakteri) sampai pada minggu kedelapan perlakuan, pelapisan chitosan masih sesuai dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) ikan asin, yakni dibawah 1 x 105 (100 ribu koloni per gram). "Kemampuan dalam menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang, 
4. kadar air, di mana perlakuan dengan pelapisan chitosan sampai delapan minggu menunjukkan kemampuan chitosan dalam mengikat air, karena sifat hidrofobik, sehingga dengan sifat ini akan menjadi daya tarik para pengolah ikan asin dalam aspek ekonomis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar